Dahsyatnya Bencana Tsunami Di Masa Lampau

Di Desa Karangantu. Sebuah desa nelayan yang kehilangan seluruh penduduknya kecuali empat orang keturunan Tionghoa, yaitu, Ongl Leng Yauw, Ong Boen Seng, serta dua kakak beradik, Roeti Nio dan Biskoeit Nio. Ong Leng Yauw mengatakan bahwa tinggi gelombang tsunami itu setinggi pohon kelapa.

“Koetika Krakatau (h)ampir meletoes itoe aer laoet poenja gerakan ada loear biasa anehja. Sebentar soereot begitoe djaoe(h) ka tengah hingga dasar laoetan seperti kering, dan banjak orang toeroen ka tengah aken djoempoetin ikan-ikan yang berg(e)letakan, dan kemoedian dateng ombak bergoeloeng-goelong satinggi poehoen kelapa jang mendampar sampe djaoe(h) ka daratan.

 

Ong Leng  Yauw melihat sendiri bagaimana keganasan tsunami. Ia bahkan turut hanyut ditelan gelombang menakutkan itu.

“…soeara geloegoran mendadak djadi begitoe hebat dan toeroen aboe dengan lebet dari oedara, matahari tida(k) kali(h)atan, dan siang hari berobah djadi gelap goelita, hingga tangan depan mata tida(k) bisa terli(h)at. Segala apa tertoetoep dalam kegelapan jang menakoetkan….Di sana-sini rame soeranja orang bert(e)reak minta toeloeng, tapi tida(k) kali(h)atan satoe apa.

 

Ong Leng Yauw beruntung. Ia selamat setelah ditelan gelombang tsunami dan akhirnya tersangkut di pohon setinggi tiga meter. Ia kemudian menyaksikan sendiri, semuanya telah musnah,

“Saja lantes berdjalan balik ka Karang-antoe, dimana saja dapetkan tida(k) ada satoe apa jang tinggal berdiri, antero roemah-roemah berikoet loods pasar dan laen-laen soedah mendjadi rata sama tanah, tersapoe bersih sama sekalih.

 

Ong Leng Yauw saat itu hanya bocah berusia 14 tahun. Letusan Krakatau tanggal 27 Agustus itu memusnahkan semuanya. 54 tahun kemudian, saat ia berusia 68 tahun, ia menceritakan kesaksiannya kepada Kwee Tek Hoaij yang sedang singgah di Desa Karangantu, Banten. Kwee kemudian menuliskan kesaksian itu, hingga akhirnya dapat kita ketahui betapa mengerika bencana letusan yang pernah mencengkeram bangsa ini.

 

Kini, hampir 200 tahun setelah letusan Gunung Tambora dan lebih dari 130 tahun letusan Krakatau yang mengerikan, kita masih berdiri di antara cincin Api. Hidup diantara serangkaian gunung-gunung berapi yang masih aktif. Jika kita merenungkan kembali kesaksian-kesaksian yang tercatat dalam sejarah, maka teringatlah kita akan sejumlah surat-surat dalam Al Quran yang menggambarkan betapa mengerikannya kejadian saat kiamat nanti. Jika letusan Tambora dan Krakatau saja sudah sedemikan mengerikan, bagaimana pula saat kiamat nanti?

 

Ironisnya, kita yang hidup di antara cincin api, masih saja belum insyaf.  Di tanah air masih terus terjadi sederet peristiwa yang bisa saja mengundang murka Allah. Bangsa ini masih merayakan perzinahan, korupsi yang merajalela, hak-hak orang yang dirampas, hukum-hukum Allah yang kerap di cemooh, bayi-bayi yang digugurkan, ulama-ulama yang dilecehkan dan darah sebagian umat Islam yang ditumpahkan tanpa alasan. Adakah kita tak sadar sedang menari-nari diatas kemaksiatan yang mungkin hanya beberapa langkah saja dari murka Allah? Jika segala bencana tak dianggap pertanda, tapi hanya ditelan sebagai gejala alam belaka, mungkin itu sebabnya kita terlalu bebal untuk menyadarinya.

Dikutip dari : Beggy Rizkiyansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Baca Juga ya, Alasan sebenarnya Pangeran Diponegoro Melawan Penjajah Belanda di link ini

Tinggalkan Balasan

  • Post author: