Presiden Indonesia Tak Diakui Dalam Sejarah Indonesia

Dalam kancah pemerintahan, ia selalu berperan aktif, akan tetapi hidupnya selalu mengalami kesulitan. Anak-anak beliau dititipkan ke sanak saudara dan teman-temannya dan kehidupan beliau pun setelah merdeka tak ada pengakuan sebagai presiden Indonesia, prestasi, apalagi gelar pahlawan.

Dalam sejarah Indonesia ada sesuatu yang sangat menarik. Siapa sajakah presiden Indonesia sebenarnya?Kali ini kita ulas sedikit tentang sosok seorang “presiden Indonesia” yang tak pernah diakui. Siapakah dia? Mari sahabat semua simak ulasan di bawah ini.

presiden indonesia

 

Namanya  Sjafruddin Prawiranegara,  mempunyai nama kecil “Kuding” yang berasal dari kata Udin pada namanya Sjafruddin. Lahir di Serang, Banten 28 Februari 1911. Meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 saat beliau menginjak umur 77 tahun. Beliau adalah seorang pejuang pada masa kemerdekaan yang jasanya sudah tak terhitung lagi.

 

Sjafruddin pernah menempuh jenjang pendidikan ELS pada tahun 1925 dan kemudian dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, lalu ke AMS di Bandung pada tahun 1931. Untuk jenjang pendidikan tingginya Sjafruddin mengambil Rechtshoogeschool atau yang biasa disebut Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, sekarang Fakutas Hukum di Universitas Indonesia pada  1939 dan beliau berhasil meraih gelar Messter in de Rechten yang sekarang setara dengan Magister Hukum.

 

Setelah lulus, Sjafruddin bekerja di sebuah radio swasta sebagai penyiar pada tahun 1939  sampai pada tahun 1940. Kemudian setelah itu Sjafruddin bekerja di Departemen Keuangan Belanda tahun 1940 sampai dengan 1942, dilanjutkan bekerja di Departemen Keuangan Jepang.

 

Diberikan Mandat Oleh Presiden Indonesia

Saat Indonesia meraih kemerdekaannya, Sjafruddin menjadi anggota Badan Pekerja KNIP sebagai badan legislatif di Indonesia pada tahun 1945 sebelum terbentuknya MPR dan DPR, makanya KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN.

 

Akan tetapi pada 19 Desember 1948 terjadilah Agresi Militer Belanda II. Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan Belanda ke Pulau Bangka. Lalu pada saat itu, Soekarno dan Hatta memberi mandat agar Sjafruddin membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan menjadi presiden/ ketuanya saat NKRI di Yogyakarta.

 

Presiden Indonesia Yang Tidak di Akui

Atas upaya Sjafruddin membentuk PDRI, terpaksa Belanda harus berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen pun dibuat mengakhiri upaya Belanda dan akhirnya hal itu dapat membebaskan Soekarno dan Hatta. Pada 13 Juli 1949 diadakanlah sidang dihadiri Presiden Soekarno dan wakilnya Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet untuk serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada 14 Juli 1949 di Jakarta. Namun, Sjafruddin tidak pernah diakui menjadi presiden Indonesia.

 

Walau tidak pernah diakui sebagai presiden Indonesia, di dalam kancah pemerintahan,  Sjafruddin selalu berperan aktif, akan tetapi hidupnya selalu mengalami kesulitan. Anak-anak beliau dititipkan ke sanak saudara dan teman-temannya dan kehidupan Sjafruddin pun setelah merdeka tak ada pengakuan prestasi, apalagi gelar pahlawan.

 

Aktif Dalam Bidang Keagamaan

Pada masa tuanya Sjafruddin memilih bergelut di dunia dakwah meski beberapa kali ia dilarang naik mimbar. Pada Juni 1985,  mantan tokoh partai Masyumi ini diperiksa pihak berwajib sehubungan dengan isi khotbahnya pada Hari Raya Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A’raf, Tanjong Priok, Jakarta.

 

Dalam aktivitas keagamaannya, Sjafruddin pernah menjabat sebagai Ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI). Selain itu, beliau pernah menjadi Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), yang kini dikenal dengan nama PPM Manajemen pada tahun 1958 dilanjutkan menjadi Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam pada tahun 1978.

Di samping itu pula Sjafruddin menyempatkan juga menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia yaitu Oei Beng To. Sebelum Sjafruddin tutup usia, Sjafruddin berucap, “Saya ingin mati  dalam Islam dan ingin menyadarkan bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah.”

 

Pada tahun 2006 melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan  19 Desember sebagai ‘Hari Bela Negara’. Keputusan itu dilandasi fakta perjuangan Sjafruddin dan kawan-kawan dalam  mempertahankan kemerdekaan melalui PDRI.

 

Nah, bagaimana Sahabat tentang sekilas cerita sejarah mengenai “presiden” kita yang tak pernah diakui? Nah, kita sebagai generasi muda jangan terlalu terlena akan kehidupan zaman modern sekarang dan melupakan jasa-jasa  para  pahlawan kita semua pada  masa lalu. Dengan susah payahnya mereka membangun negeri ini, masa kita sebagai generasi muda malah merusaknya? Semoga tulisan ini bisa menyadarkan kita semua.

(Asi Nurjanah Gumilang)

 

Baca juga kisah sepsial sejarah indonesia Pangeran diponegoro yang gelisah dengan lingkungan keraton pada masa penjajahan Belanda di sini

Tinggalkan Balasan