Politik Indonesia, Hilangnya Politik Santun

Sudah jadi rahasia umum, politik Indonesia merupakan panggung yang kotor saat ini, dipenuhi dengan kebencian, hinaan, dan bahkan darah yang berceceran. Jika bukan karena politik, adakah kiranya peristiwa Gerakan 30 September atau Peristiwa Malari? Politik telah memakan banyak tumbal, ia semakin jauh dari manusia yang memanusiakan.

Masyarakat  Indonesia sudah kadung akrab dengan politik yang berwajah demikian, bukan sebuah cetusan aktivitas agung manusia seperti yang dikatakan Aristoteles. Politik di sini tak mengenal Aristoteles, karena ia hanya diketahui sebagai sebuah nama.

Di Indonesia, rakyat  sudah kenal dekat dengan politik sebagai arena perebutan kekuasaan dan tempat pembenaran kesesatan, seolah Machiavelli sedang tersenyum ke arah Ibu Pertiwi. Melihat politik di negeri ini menjadi pertarungan adu kuat dan cenderung menghalalkan segala cara agar bisa keluar sebagai pemenang, termasuk menunjukkan arogansi, melecehkan lawan politik, atau bahkan menutup mata tentang aturan hukum yang ada. Hukum rimba berlaku, seolah kekuasaan adalah hal yang lebih penting dari yang lain, dan rakyat  hanya dipandang sebagai alat untuk menuju ke sana.

Rakyat yang dijadikan alat tentu bukan rakyat yang buta, bukan rakyat yang tak membaca, bukan pula rakyat yang tuli atau rakyat yang tunawicara. Rakyat bahkan menjadi satu alat yang peduli pada perilaku-perilaku politisi yang diantarkan setiap hari lewat televisi, koran, dan lain-lain. Rakyat dengan sadar menjejali pikiran mereka dengan segala informasi kegiatan politik karena semua itu juga berhubungan dengan hidupnya.

Politik Indoensia adalah Panggung

Rakyat sadar bila politik adalah panggung, bisa jadi penting, bisa jadi serius untuk disikapi namun ternyata  belum tentu mereka jadi percaya, maka kepercayaan menjadi sangat berbahaya di negeri ini, juga menjadi sangat mahal harganya.

Berbicara tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, menjadi suatu kajian yang menarik bagi penulis. Hal ini karena saat ini Indonesia berada pada era kebebasan berpolitik setelah melampaui masa kelam berpolitik.

Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam perjalanannya, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok.

Ini dapat terlihat bagaimana saat ini para elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apa pun untuk mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengenai etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mengakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa.

Politik Indonesia Penuh Kekerasan

Hal ini sangat mengkhawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan.

Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya.

Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang (Sedarmayanti, 2003: 112).

Kurangnya etika berpolitik sebagaimana prilaku elite di atas merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan.

 

Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini, yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.

 

Di Indonesia, etika politik dan pemerintahan diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam ketetapan tersebut,  diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik, merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa ini, disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

 

Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan. Karena itu, sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika, moralitas, dan kebhinekaan. Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan.

Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini. Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.

Menimbang keanekaragaman suku yang mendiami wilayah nusantara beserta kekayaan adat dan budayanya, penulis meyakini bahwa jiwa bangsa ini pada hakikatnya bersumber dari seni budayanya yang telah tumbuh berkembang melampaui abad demi abad tak terbayangkan.

 

Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Monas (Monumen Nasional) Jakarta, penulis berkesempatan untuk menyaksikan perjalanan bangsa ini melalui diorama serta berbagai peninggalan dan dokumen sejarah yang menunjukkan kesejatian negeri ini. Penulis menyaksikan juga teks proklamasi yang asli dan berfoto di sana.

Seakan tak Berjarak

Terlintas dalam pikiran bahwa kita memang telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Namun, sebagai bangsa tampaknya kita juga perlu menggaungkan kemerdekaan dan kekayaan kebudayaan kita. Dengan itu, terbuka peluang untuk memberi  inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang pentingnya seni budaya sebagai pemersatu umat manusia dalam perdamaian yang penuh saling pengertian.

 

Melalui ziarah pada sejarah luhur bangsa kita, dapat terbersit renungan perihal pentingnya mengedepankan suatu perilaku politik yang berbudaya. Hal ini mengemuka justru karena kita menyaksikan fenomena belakangan ini, kehidupan politik seakan-akan tak berjarak dengan berbagai intrik. Seolah-olah perilaku yang jauh dari kesantunan dan etika adalah keniscayaan dunia politik, kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bersama sebagai bangsa.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan budaya politik santun, bersih dan beretika dalam rangka memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara menuju Indonesia baru. Ini  di antaranya ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan, melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas, dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis.

 

Budaya politik santun, bersih dan beretika dalam rangka memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara menuju Indonesia baru sangat diperlukan. Hal ini  karena dapat membuat para elite politik menjauhi sikap dan perbuatan yang dapat merugikan bangsa Indonesia.

 

Akhirnya, penulis menyarankan agar dilaksanakan kembali pendidikan budi pekerti yang merupakan pondasi bagi pelaksanaan civic education agar tercipta generasi yang tidak hanya mau menjadi politisi namun paham budaya dan etika politik. Pendidikan budi pekerti sekaligus merefleksikan pemikiran rakyat Indonesia hingga saat ini. Hal tersebut juga menggambarkan perubahan kepedulian bangsa ini terhadap pendidikan yang bernuansa etika-moral.

 

(Muhammad Irfan Fauzi, Mahasiswa UIN Bandung)

 

Baca juga ya, presiden Indonesia yang tak diakui sejarah Indonesia sendiri di artikel ini

Tinggalkan Balasan