Masjid Nabawi Yang Bermandikan Cahaya

Masjid Nabawi sungguh masjid yang sangat indah dan nyaman. Pada malam hari, masjid ini bermandikan cahaya yang sangat terang benderang.

Nabawi dibangun oleh Rasulullah pada tahun ke-1 Hijriyyah. Ada daya tarik luar biasa yang membuat jutaanmuslim ketika berada di Madinah selalu ingin beribadah di masjid ini.

 

Hari itu, Selasa malam, 08 Agustus 2017 sekitar pukul 02.00, rombongan jemaah haji gelombang 1 kelompok terbang (kloter) 35 Kabupaten Cianjur, berjumlah 440 orang.

Rombongan bertolak dari bandar udara Soekarno-Hatta Jakarta, menuju bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) di Madinah.

Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, menuju bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) di Madinah

 

Kloter 35 ini menggunakan pesawat Saudi Arabian Air Lines yang berkapasitas kl 500 penumpang dengan nomor penerbangan SV 5105.

Perjalanan Jakarta-Madinah ditempuh selama sembilan jam lebih lima belas menit,  membuat tubuh terasa penat dan kaki terasa pegal-pegal.

masjid nabawi

 

Sekitar pukul sebelas Waktu Arab Saudi (WAS), pesawat Saudi Arabia yang membawa kami, mendarat dengan selamat di bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) di Madinah.

Bandara Madinah ini memiliki terminal 3 lantai dengan luas mencapai 156.940 m2. Begitu turun dari pesawat, udara terasa sangat panas. 52 s.d. 55 derajat Celcius.

Pemeriksaan dokumen pun antre dilakukan selama hampir dua jam, sehingga para calon jemaah haji dituntut memiliki kesabaran yang tinggi.

Setelah itu, para calon jemaah haji naik bus menuju penginapan di kota Madinah.

 

Tepat pukul 14.00 WAS, penulis dan rombongan tiba di kota Madinah. Deyar Al-Amal Hotel merupakan tempat menginap kloter 35 selama di Madinah.

Selaku ketua regu, yang pertama kali saya lakukan adalah turun terlebih dahulu dari bus untuk mengambil kunci hotel dan memastikan regu kami mendapat tempat.

Alhamdulillah, pembagian kunci kamar dari para petugas haji Indonesia tidak begitu lama, sehingga rombongan dapat dengan segera beristirahat di kamar masing-masing.

Maklum, semua lelah setelah menempuh perjalanan panjang kurang lebih 12 jam.(Jakarta-Bandara Madinah-Hotel).

masjid nawbawi
menempuh perjalanan panjang kurang lebih 12 jam.(Jakarta-Bandara Madinah-Hotel).

 

Rabu sore itu, sekitar pukul 16.00, kami mulai melaksanakan salat Ashar di masjid Nabawi.

Salat ini merupakan salat wajib berjamaah yang pertama dari 40 waktu  (arba’in) yang akan kami tempuh selama delapan hari di kota Madinah itu.

Jarak antara hotel tempat penulis menginap dengan masjid Nabawi hanya sekitar 400 meter, dan masuk pelataran masjid Nabawi melalui gerbang 6.

masjid nabawi
Salat wajib berjamaah yang pertama dari 40 waktu

 

Kesan pertama, ketika kaki ini menginjakkan kaki di pelataran masjid Nabawi, adalah cuaca yang sangat panas. Kl 52 derajat Celcius.

Meski jarak antara hotel dan masjid cukup dekat, kami memakai masker dan selalu menggunakan semprotan air untuk membasahi bagian wajah yang serasa terbakar.

 

Keutamaan Salat di Masjid Nabawi

Kota Madinah (Madinatul Rasul) merupakan tanah haram (tanah suci)  setelah Makkah Al-Mukarramah, terletak di tengah-tengah padang pasir yang subur.

Di sebelah barat laut dikelilingi bukit Silaa’, di sebelah selatan bukit E’ir dan Wadi Al Aqiq, sebelah utara ada Jabal Uhud, Jabal Tsur, dan Wadi Qanat.

Sedangkan di sebelah timur kawasan Tanah Hitam (Harrah) Waqim Asy Syariyyah, dan di sebelah barat ada Harrah Wabrah Al-Gharbiyyah.

masjid nabawi
jutaan calon jamaah haji salat berjamaah selama 40 waktu berturut-turut

 

Masjid Nabawi di kota Madinah, merupakan satu-satunya masjid yang digunakan jutaan calon jamaah haji untuk melaksanakan salat berjamaah selama 40 waktu berturut-turut (arba’in).

Wajar saja, karena beribadah di masjid ini nilai pahalanya sangat tinggi, yakni setiap rakaat mendapat nilai pahala seribu kali daripada salat di masjid lain.

Ada juga yang menyebut sepuluh ribu kali lipat nilai pahalanya.

masjid nabawi
Masjid Nabawi

 

Hal ini ditegaskan Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan Ahmad dari Jabir ra.

Salat di masjid Nabawi lebih mulia nilainya seribu kali daripada salat di masjid lain, kecuali di Masjidil Haram yang nilainya lebih mulia seratus ribu kali daripada salat di masjid lain.

 

Daya Tarik Raudhah

Nabawi sungguh masjid yang sangat indah dan nyaman. Pada malam hari, masjid ini bermandikan cahaya yang sangat terang benderang.

Masjid Nabawi dibangun oleh Rasulullah pada tahun ke-1 Hijriyyah. Ada daya tarik luar biasa yang membuat jutaan muslim ketika berada di Madinah selalu ingin beribadah di masjid ini.

Tak peduli jaraknya dari hotel harus berjalan kaki ratusan meter di bawah terik mentari dan panas udara yang menyengat.

Daya tarik itu tiada lain karena di dalam masjid ada sebuah tempat yang luar biasa istimewa. Tempat yang sangat makbul untuk berdoa.

Artinya siapa pun yang berdoa di tempat ini, niscaya Allah swt. akan mengabulkan seluruh doanya. Tempat itulah yang dinamakan Raudhah.

Raudhah letaknya ditandai dengan tiang-tiang putih antara makam Nabi sampai dengan mimbar, beralaskan karpet hijau.

Luas Raudhah dari arah timur ke barat sepanjang 22 meter, dan dari utara ke selatan 15 meter.

 

Di tempat inilah, tiada satu detik pun ada celah kosong untuk salat dan berdoa. Jemaah selalu berdesak-desakan untuk mendapatkan tempat di atas karpet hijau agar dapat salat dan berdoa.

Perlu waktu menunggu antara 30 s.d. 60 menit untuk antre mencapai Raudhah, dan setelah susah payah menerobos jejalan jemaah, baru kita bisa melaksanakan salat.

Begitu penuhnya, saya meminta teman untuk menjaga kita bergantian agar selama kita salat, tidak terseret oleh arus jemaah yang terus berdesak-desakan.

raudhah
30-60 menit untuk antre mencapai Raudhah

 

Hal ini dialami penulis dan teman-teman jemaah yang lain. Beberapa kali mencoba memburu Raudhah, masih belum berhasil.

Mencoba kembali ke sana setelah salat Isya ketika  para jemaah lain keluar, Raudhah masih tetap berjejal-jejal. Ketika dicoba beberapa jam sebelum salat Subuh, ternyata jemaah seakan tak bergeming. Masih banyak juga.

Seandainya bisa masuk ke dalam Raudhah pun, kalau tidak saling menjaga dengan teman, sulit bisa melaksanakan salat dan berdoa di sana dengan tenang.

Alhamdulillah, pada suatu malam, “berburu” Raudhah akhirnya berhasil juga.

Saya sempat salat di karpet hijau itu, persis menghadap mimbar Nabi.

Tak apa, meski ketika bersujud, kepala penulis masuk di antara kedua kaki Askar yang tengah duduk bersilang di atas kursi menjaga mimbar, dan harus rela kepala ini dilangkahi para jemaah

lain.

 

Jalan Alternatif Menuju Raudhah

Hari-hari selanjutnya, penulis mencari alternatif masuk ke kawasan Raudhah melalui pintu samping yang menuju ke arah Baqi, meski dari Gerbang 6 jaraknya cukup jauh.

Dan cara ini berhasil!

Beberapa kali penulis salat di area samping Raudhah, yakni di depan dan samping makam Rasulullah, makam  Abu Bakar Assidiq r.a. dan makam Umar ibnul Khattab r.a.

Letaknya bersebelahan dengan karpet hijau. Itulah hebatnya Raudhah, tempat yang sangat makbul untuk berdoa dan memohon ampun kepada-Nya sehingga menjadi pusat perburuan para

jemaah masjid Nabawi setiap saat.

 

Meskipun hanya berhasil sekali salat di depan mimbar Nabi di dalam Raudhah dengan sangat susah payah, tetapi Saya sangat bersyukur.

Bisa salat sunat dan berdoa langsung di depan mimbar yang dahulu digunakan Nabi untuk berkhotbah.

Dan hati ini berbahagia pula ketika berhasil empat kali salat di depan dan samping pintu makam Rasulullah.

 

Makam Rasulullah saw di dalam masjid Nabawi yang terletak sejajar dengan Raudhah, memiliki empat pintu.

Pintu di sebelah kiblat dinamai pintu At-Taubah, di sebelah timur dinamai pintu  Fatimah, sebelah utara dinamai pintu Tahajjud.

Sedangkan pintu sebelah barat ke Raudhah, kini sudah tidak dipergunakan lagi/ ditutup.

Di depan pintu-pintu tersebut, tak pernah satu detik pun ada tempat kosong untuk salat, para jemaah tetap harus berjuang berdesak-desakan.

Dan anehnya, setelah berhasil mendapat tempat salat, para jemaah enggan meninggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan kepada jemaah yang lain.

Baru setelah “diusir” Asykar, akhirnya mereka bergeming juga.

 

Hari-hari berikutnya, para jemaah haji KBIH Attaqwa Cianjur mengunjungi tempat-tempat berziarah di kota Madinah Al-Munawwarah.

 

Pemakaman Baqi’ Al-Gharqad

Pemakaman Baqi’ Al-Gharqad

 

Tempat ziarah pertama yang dikunjungi para Jemaah KBIH Attaqwa adalah pemakaman Baqi’ Al-Gharqad pada hari kedua di Madinah.

Namun hanya jemaah laki-laki yang diperbolehkan masuk ke dalam area kuburan ini, sedangkan jemaah perempuan hanya boleh melihat-lihat dari luar gerbang, tidak diperkenankan masuk.

Baqi’ Al-Gharqad, merupakan tanah kuburan sejak zaman jahiliyah sampai kini. Para jemaah haji yang meninggal di Madinah, dimakamkan di tempat ini.

 

Kuburan ini letaknya di sebelah timur masjid Nabawi. Para sahabat yang dimakamkan di tempat ini.

Mulai dari Utsman bin Affan (Khalifah III) dan para istri Rasulullah saw., yaitu Siti Aisyah r.a., Ummi Salamah r.a., Juwairiyah, r.a., Zainab r.a., dan Mariyah Al-Qitbtiyah, r.a.

Sedangkan putra-putri Rasulullah yang dimakamkan di sini, antara lain Ibrahim, Siti Fatimah, dan Ummu Kulsum serta para sahabat dan syuhada lainnya.

 

Dari keterangan yang penulis dapatkan saat berkeliling di dalam area Baqi’, tempat  pemakaman ini dinamakan Baqi’ Al-Gharqad.

Konon sejarahnya pada zaman dahulu kala di tempat ini tumbuh pohon-pohon Gharqad (gerumbul-gerumbul, sejenis pohon-pohon berdaun kecil dan berduri).

Tak ada satu pun kuburan di tempat ini yang memakai nisan atau ditembok memakai keramik seperi di Indonesia. Ciri bahwa itu kuburan, cukup dengan batu-batu saja ditumpuk-tumpuk.

 

Berbahagialah, ketika salah seorang jemaah kami yang satu kloter, satu KBIH, dan  satu rombongan, wafat pada hari ketujuh berada di Madinah.

Sehari menjelang keberangkatan ke Mekkah, tepatnya Selasa 15 Agustus 2017, beliau dimakamkan di Baqi’ bersanding dengan para syuhada.

Almarhum adalah Dadang Iskandar, pensiunan Kepala SD Neglasari Kecamatan Kadupandak, Cianjur Selatan. Ia  bergabung dalam regu 4 rombongan 9 KBIH Attaqwa.

Beliau meninggal pukul 06.30 Waktu Arab Saudi (WAS) karena sakit setelah dirawat selama limahari di rumah sakit Al-Anshor Madinah dalam usia  65 tahun.

Beliau meninggalkan seorang istri Ny. Enok Armilah dan dua putra. Sebelum dimakamkan di Baqi’, terlebih dahulu almarhum disalatkan ratusan ribu iash masjid Nabawisetelah salat Ashar.

Almarhum dimakamkam tepat pk.16.30 WAS.

Pemakaman ini dihadiri istri almarhum, Ny. Enok Wasilah yang begitu tegar menghadapi kenyataan ini, rekan-rekan almarhum, dan pengurus Kloter 35.

 

Masjid Quba

Masjid Quba

 

Siang harinya, masih hari kedua, Kamis 10 Agustus, rombongan 8 dan 9 KBIH Attaqwa mengunjungi tempat bersejarah lainnya, yakni masjid Quba.

Selain itu juga mengunjungi kebun kurma (tamar) Bir Usman, masjid Kiblatain, dan Jabal Uhud.

Berkunjung ke tempat-tempat tersebut, rombongan menggunakan bus yang sudah dicarter sebelumnya.

 

Masjid Quba, merupakan masjid pertama yang dibangun Rasulullah saat beliau berhijrah ke Madinah.

Saat itu, Nabi tiba di daerah Quba, Senin, 12 Rabi’ul Awwal, tahun ke-13 dari kenabiannya atau tahun ke-53 dari kelahiran beliau, atau bertepatan dengan 20 September 622 M.

Masjid Quba terletak kl 5 km sebelah barat daya Madinah, didirikan di atas sebidang tanah milik Kalsum bin Hadam yang dibeli Nabi.

Peletakan batu pertama masjid ini, dilakukan Nabi sendiri, kemudian setelah itu berturut-turut dilakukan  Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.

Selanjutnya diselesaikan para sahabat Muhajirin dan Anshar sampai dengan selesai, bahkan dibantu pula Malaikat Jibril yang memberi petunjuk arah kiblat, dari semula ke Baitul Maqdis,

kemudian keduakalinya ke Baitullah.

 

Di masjid yang terletak di sudut perempatan jalan yang menghubungkan Madinah – Makkah – Jeddah ini, rombongan melaksanakan salat sunat dua rakaat.

Keutamaan masjid ini, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah bahwa barang siapa yang salat di dalamnya, maka akan mendapatkan pahalanya seperti pahala umrah.

 

Setelah itu, seperti biasa rombongan 8 dan 9 berfoto bersama, berswafoto, atau sekedar berkeliling-keliling melihat-lihat seputar masjid.

Tak sedikit pula yang sudah mulai berbelanja cenderamata dan buah-buahan, seperti kalung, gelang, tasbih, dan asesoris lainnya, juga kurma, anggur, bahkan minyak zaitun, dsb.

 

Memborong Kurma Nabi

Memborong kurma Nabi

 

Dari Masjid Quba, rombongan 8 dan 9 KBIH Attaqwa, bergerak menuju kebun tamar alias kebun kurma di daerah Bir Usman.

Tempat inilah merupakan pusat belanja kurma nabi asli  di Madinah, karena peng unjung bisa langsung membeli kurma dari kebunnya.

Betul saja, setibanya di area perkebunan kurma Bir Usman, puluhan bus dan taksi sudah berderet.

Ratusan jemaah haji mulai beraksi merogoh koceknya dalam-dalam un tuk memborong kurma nabi asli yang disebut kurma “Azwa”

Kebun kurma Nabi

 

Sebagian pohon kurma saat itu iashranum-ranumnya berbuah. Buah kurma yang masih ada di atas pohon, dibungkus dengan rambang, dan jika sudah matang, dijamin tidak akan berjatuhan.

Di kebun ini terdapat sejumah toko kurma dengan aneka macam kurma, kacang-kacangan, coklat, dsb.,tetapi tetap yang diburu kurma Azwa.

Harga kurma Azwa per kilogramnya  50 real atau sekitar Rp 200.000,-kalau kurs uang kita. Para pelayan toko yang notabene orang Arab, rata-rata sudah pandai berbahasa Indonesia.

Karenanya para jemaah tak canggung lagi untuk menawar harga kurma semurah-murahnya.

Sekedar mencicipi, kita juga bisa kenyang makan kurma secara gratis, asal sudah dikatakan “halal” oleh si pedagang, maka mulailah kita mencicipi kurma gratis dan halal dari lapak ke lapak.

lumayan!

 

Masjid Qiblatain

Masjid Qiblatain Madinah

 

Dari kebun kurma Bir Usman, rombongan dibawa Ustaz Umar ke masjid Qiblatain atau masjid “Dua Kiblat” .

Semula masjid tersebut dikenal dengan nama masjid Bani Salamah, karena masjid tersebut dibangun di atas tanah bekas rumah Bani Salamah.

Letaknya di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah, dekat Istana Raja, ke jurusan Wadi Aqiq, tepat berada di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah.

 

Mengapa masjid yang juga bersejarah ini  disebut masjid Qiblatain atau Dua Kiblat?

Menurut data, pada permulaan Islam, kaum muslimin melaksanakan salat menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis di Yerussalem Palestina.

Pada tahun kedua Hijriyah, Senin bulan Rajab waktu Duhur, turunlah wahyu surat Al-Baqarah ayat 144.

Isinya memerintahkan Rasulullah saw. dan umatnya menjadikan Masjidil Haram (Ka’bah) di Makkah Al-Mukarromah sebagai kiblat.

 

Pada waktu Ashar, para sahabat salat berjamaah di masjid Qiblatain masih menghadap ke Baitul Maqdis.

Di sela salat berjamaah tersebut, datanglah sahabat yang masbuq dan berteriak mengabarkan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabat di masjid Nabawi telah beralih kiblat ke Masjidil Haram.

Maka serentaklah imam dan ma’mumnya mengubah arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Harom (Ka’bah).

Sejak terjadinya peristiwa tersebut, maka akhirnya masjid Bani Salamah tersebut diberi nama masjid Qiblatain yang berarti masjid dua kiblat.

 

Sampai kami tiba di sana, paimbaran (tempat imam) masjid,  masih tetap ada dua, depan dan belakang.

Ini berarti paimbaran yang dulu menghadap ke Baitul Maqdis tidak dipugar. Mungkin hal ini, karena mengandung nilai sejarah sehingga paimbaran atau tempat imam itu tetap dipertahankan.

Di masjid ini, para jemaah haji Attaqwa ada yang melaksanakan salat sunat, ada juga yang hanya sekedar mengambil foto, karena waktu yangtersedia di tempat ini hanya sekitar 20 menit.

 

Jabal Uhud

Dari masjid Qiblatain, tempat terakhir yang dikunjungi jemaah pada hari kedua di Madinah adalah Jabal (gunung) Uhud.

 

Sebuah bukit terbesar di Madinah, kl 5 km dari pusat kota Madinah, berada di pinggir jalan lama Madinah-Makkah.

Menurut sejarah, gunung ini pada zaman Nabi merupakan tempat peperangan antara kaum muslimin yang hanya berkekuatan 700 orang, melawan 3.000 kaum musyrikin Makkah.

Ini terjadi pada tahun ketiga Hijriyah.

Dalam peperangan ini, pasukan kaum muslimin sempat meraih kemenangan yang gemilang.

Namun pasukan pemanah muslimin yang ada di atas bukit tergoda ketika melihat barang-barang yang ditinggalkan musuh.

Sebagian dari mereka meninggalkan posnya untuk mengambil harta rampasan perang (ghonimah) tersebut.

Hal tersebut dimanfaatkan musuh untuk menyerang kembali dari arah pos yang ditinggalkan para pemanah itu.

Akhirnya umat Islam mengalami kekalahan dan 70 syuhada gugur dalam peperangan itu.

 

Di tempat ini, para jemaah mengambil swafoto dan foto bersama, namun tidak semua jemaah naik ke puncak gunung.

Selain waktu kunjungan terbatas, juga cuaca di Madinah saat itu panas sekali, hingga mencapai 52 derajatCelsius.

Di atas bukit, terdapat kuburan Uhud, yakni makam para syuhada yang gugur dalam peperangan itu, dikuburkan dalam satu lubang. Kini kuburan itu sekelilingnya sudah ditembok.

 

Jabal  Magnet

Pada hari keempat di Madinah, tepatnya Sabtu 12 Agustus 2017, kunjungan ke tempat-tempat bersejarah dilanjutkan kembali.

 

Kali ini, para jemaah dibawa ke “Jabal Magnet” atau gunung yang mengandung magnet.

Orang-orang Arab setempat  menyebutnya “Manthiqa Baidha” artinya “Perkampungan Putih” dan orang-orang Barat menyebutnya “Magnetic Hill”.

Jabal Magnet merupakan destinasi wisata favorit  bagi para jemaah haji, khususnya dari Indonesia.

 

Pagi-pagi sekali, rombongan 8, mencarter dua buah bus lokal dengan jumlah seluruh rombongan sekitar 90 orang. Kebetulan sopir bus rombongan 9 orang Sunda, berasal dari Sukabumi.

Ia merupakan pekerja musiman, khusus  menjadi sopir bus pariwisata untuk jemaah haji di Madinah, sehingga para jemaah banyak bertanya tentang Jabal Magnet.

 

Jarak dari Madinah ke Jabal Magnet, sekitar  60 km ke arah Makkah.

Di sepanjang perjalanan menuju Jabal Magnet, di kiri kanan jalan rombongan disuguhi pemandangan perkebunan kurma (tamar) dan hamparan bukit bebatuan.

Jarang sekali rumah-rumah penduduk  atau boleh dikata, tidak ada sama sekali.

 

Setelah menempuh perjalanan selama kl 90 menit, rombongan tiba di kawasan Jabal Magnet.

Kami langsung menyantap sarapan pagi berupa lontong kuah yang disediakan pihak perusahaan bus secara gratis.

 

Sopir  bus 9 menjelaskan sejarah dan keajaiban-keajaiban Jabal Magnet, antara lain mobil dapat berjalan sendiri tanpa pengemudi meskipun jalanan  menanjak.

Kecepatan yang semula 120 km/ jam, secara perlahan akan menurun sendiri hingga menjadi 5 km/ jam.

Jam penunjuk kompas tidak berfungsi sehingga arah utara dan selatan pun menjadi kacau.

 

Di kiri kanan jalan terletak dua buah bukit menjulang tinggi, juga di ujung jalan berdiri tegak bukit yang secara alami di dinding bukit itu terlukis lafad Allah.

Jalan itu mentok di bukit tersebut dan arus kendaraan berputar arah kembali ke ja lan semula.

Di sini, para jemaah haji Attaqwa berswafoto, berfoto bersama, dan berjalan-jalan di sekitar bawah bukit.

 

Konon menurut sejarahnya, pertama kali daerah itu diketahui mengandung magnet ketika seorang Arab Bedewi memarkir mobilnya di pinggir bukit karena ia ingin buang air kecil.

Mesin mobil dimatikan tanpa rem tangan, namun tiba-tiba mobil itu berjalan sendiri dan makin lama makin kencang dan baru berhenti setelah mobil itu menabrak tumpukan pasir di tepi jalan.

Sumber magnet  ternyata  berasal dari bukit-bukit di kiri kanan jalan.

 

Hanya sekitar 30 menit rombongan jemaah haji Attaqwa berada di lokasi tersebut, kemudian kembali ke hotel “Ad-Deyar” di Madinah.

Rombongan melanjutkan salat Duhur mengejar “arba’in” di masjid Nabawi.

 

Baca catatan selanjutnya perjalanan dari Madinah menuju Mekkah di artikel ini.

 

Tinggalkan Balasan